Tak berapa lama kurang lebih tiga puluh hari setelah mencoba
Meraih Mimpi di Merapi, aku merasakan candu untuk kembali melangkahkan kaki ini menapaki liku jalan semut berkelok yang bisa membawaku ke puncak. Tak perlu waktu lama sembari dosen menjelaskan mata kuliah, bersamaan dengan itu pulalah aku fokuskan mata dan tangan ini di hadapan layar laptop demi mencari rute pendakian kali ini. Waktu terasa begitu cepat saat dosenku beranjak meninggalkan ruang kelas, secepat aku memutuskan kemana aku akan melangkah untuk trip selanjutnya.
Gunung Penanggungan mungkin kalian semua masih asing mendengar namanya. Atau mungkin ini baru pertama kali? Ya memang gunung ini tidak setenar seperti Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang berada satu kluster dengannya. Tapi jangan keburu beranjak pergi, mungkin setelah membaca sedikit cerita lewat tulisan ini kalian langsung ingin segera melangkahkan kaki menuju ke sana. Oke tanpa perlu basa-basi saatnya trip dimulai. Here we go!
Berbekal dengan peralatan seadanya yang biasa menemani naik gunung, bersama dengan 3 orang temanku yang lain, kami sepakat melakukan pendakian melewati jalur
Tamiajeng. Sebenarnya ada jalur
Jolotundo dan
Ngoro, tapi kami mencoba rute yang umum dan wajar saja. Berbekal dengan prinsip "transport yang penting sampai tujuan dengan selamat", mulai dari beradu singgasana di
Terminal Arjosari, terpaksa membayar ojek di
Terminal Pandaan dengan harga mahal karena sudah larut malam, sampai harus merasakan kecepatan diatas seratus kilometer per jam tanpa helm di tengah gelapnya malam membelah hutan berkelok. Masih mahasiswa nih pak, jangan lukain kami. Mungkin itu doa dari kami berempat saat itu. Ya untungnya sampai di pos pendakian dengan selamat.
|
Berbekal penerangan untuk membelah malam |
Entah mengapa, di pos pendakian yang sering disebut Warung Bu Indah ini yang seharusnya kami wajib lapor serta membayar uang masuk pendakian namun itu semua tidak kami lakukan. Mungkin karena sudah larut malam pukul sembilan jadi dikira kami rombongan yang daritadi sudah datang. Langsung tanpa basa-basi daripada ketauan, aku langkahkan kaki ini berbekal dengan seutas doa yang telah kami panjatkan sebelumnya. Ya malam itu sepi. Hening tak berbalas, hanya suara angin dari kejauhan yang senantiasa menemani perjalanan ini.
Awal pendakian suasana terasa mencekam, bayangkan kami tak bertemu grup pendaki lain! Ini antara salah jalan atau memang pada lagi tidur di rumah semua? Ah masa bodoh! Setapak demi setapak aku lalui jalan landai berbatu ini, tak terasa kaki ku sudah mulai menapak jalur kemiringan. Belum terlalu berat, tapi cukup menguras tenaga. Daun kapas yang jatuh berguguran di tanah, pohon lebat, percabangan yang banyak, suara angin, dan sesekali terlihat semak dan ranting bergoyang ditengah pekatnya gelap malam ini semakin membuat bulu kuduk ini ingin bangun dari tidurnya.
Sesekali istirahat menjadi bagian dari perjalanan ini. Hanya untuk sekedar minum atau mengistirahatkan otot-otot tubuh yang masih kaku. Perlahan tapi pasti, dingin semakin menjadi-jadi ditambah dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi tubuh payah ini. Aku ikatkan kembali backpack dan kembali berjalan berkejaran dengan waktu yang semakin larut malam. Sesekali merayap dan berpegangan pada ranting menjadi pengisi cerita. Belum lagi ditambah debu vulkanik juga menambah bumbu di perjalanan kali ini.
Tiga jam waktu normal yang seharusnya ditempuh untuk mencapai Puncak Bayangan, kami tempuh dua setengah jam. Berkejaran dengan waktu dan bulan yang sudah muncul ternyata menghasilkan hemat waktu yang sedikit lebih cepat dibandingkan perkiraan awal. Puncak Bayangan sudah di depan mata, saatnya mendirikan tenda. Secangkir kopi menjadi jembatan membuka percakapan dengan para pendaki lain yang sudah lebih dulu membangun tenda di sini. Menikmati gemerlap lampu malam perkotaan di ujung sana ditemani makan malam sederhana yang kami buat bersama.
|
Ini Puncak Bayangan saat siang, malam harinya gelap gak sempat foto |
Tak perlu waktu lama, kami harus segera istirahat karena waktu semakin berlari kencang menunjukkan pukul satu dini hari. Hanya dua jam waktu yang kami punya untuk memejamkan mata dan mengistirahatkan badan ini.
Tak terasa mimpi indah harus segera dibuyarkan, sleeping bag harus segera disingkirkan, dan perlengkapan harus segera dikemas ke daypack demi mengejar sunrise di puncak. Tak lupa doa kembali kami lantunkan seiring dengan angin yang semakin terlihat begitu liarnya dini hari ini. Summit attack!
Hentakan kaki di lahan landai sepertinya hanya jadi cerita di awal pendakian. Medan ke puncak berubah drastis menjadi kemiringin curam enam puluh derajat. Berpegangan, merayap di batuan, serta sesekali melompat menjadi rutinitas yang harus dilakukan. Kalau ingin coba gimana tajamnya batu di sini, boleh dicoba mendaki tanpa alas kaki kok. Dijamin pijat refleksi gratis.
Perjalanan ke Puncak Penanggungan benar-benar menguras tenaga. Hanya bermodalkan semangat pantang menyerah demi tujuan melihat indahnya lukisan alam Sang Pencipta yang membuat kaki ini tetap melangkah. Sekali lagi dingin masih enggan untuk pergi, mendekap erat setiap sudut tubuh ini yang hanya berbalutkan jersey dan jaket. Perlahan jauh di ufuk timur sana, goresan sinar merah mulai menampakkan jati dirinya.
|
Sang mentari sudah mulai beranjak dari tidurnya |
"Cepat, kita harus bergegas sebelum sunrise!" teriakku.
"Sudah dekat ini, sebentar lagi kita sampai." Sahut temanku.
Satu jam setengah dari waktu normal yang seharusnya dua jam akhirnya membawa kami sampai di
Puncak Penanggungan. Di sinilah aku berdiri, di ketinggian seribu enam ratus lima puluh tiga meter diatas permukaan laut. Hamparan padang savana disekeliling batuan, serta sinar cahaya terang di ufuk timur sana menyambut kami pagi itu. Benar-benar sajian yang sudah Tuhan siapkan demi membayar perjuangan dari bawah tadi.
Gunung Arjuno dan
Gunung Welirang yang sedari tadi diam mengintip dari balik kabut akhirnya terlihat jelas di depan mata kami saat pagi itu.
|
Lihat gradasi perpaduan warnanya |
|
Lukisan Tuhan yang benar-benar sempurna |
Percayalah, Gunung Penanggungan ini dulunya dikenal dengan sebutan Gunung Pawitra yang artinya kabut. Kabut disepanjang perjalanan akan setia menemanimu, hingga sampai di puncak. Tapi kabut itu ibarat tirai yang akan terbuka dengan seiring berjalannya waktu. Perlahan, sang mentari muncul dari balik tirai kabut tebal ini dan memberikan salam yang paling indah buat siapapun, tanpa terkecuali yang berada di puncaknya.
|
Selamat pagi dari Puncak Penanggungan |
Sepertinya kegiatan di puncak hanyalah bermain siluet dengan sang mentari, sampai akupun menemukan kejadian unik dan langka yang mungkin akan membuat kalian juga kaget. Penasaran apa kejadiannya?
|
Ke puncak bawa sepeda onthel. Antara niat apa kurang kerjaan |
|
Gunung Arjuno yang setia menemani di ujung sana |
|
Dika, Teza, Pandu, Bagas |
Selesai menikmati pagi yang sangat luar biasa, saatnya kembali turun. Rute yang kami pilih tetap melewati jalur
Tamiajeng, mengapa? Berbeda dengan kebanyakan pendaki yang kadang memilih lewat jalur
Jolotundo. Banyak pemandangan unik memang yaitu candi-candi peninggalan kerajaan yang akan kalian temui sepanjang perjalanan tapi jalur ini lebih banyak cabang dan lebih bahaya. Tak butuh waktu lama untuk sampai kembali di
Puncak Bayangan dan bertemu dengan tenda kesayangan, saatnya menikmati makan pagi sebelum berkemas dan melanjutkan perjalanan pulang kali ini.
|
Gak rela buat turun gunung ninggalin pemandangan kayak gini |
|
Jalan aslinya, gak segampang ini kok |
|
Sampai jumpa Puncak Penanggungan |
Perjalanan pulang tak ubahnya menjadi semacam neraka kecil. Udara di Gunung Penanggungan saat siang hari sangat panas, jarang ada tumbuhan maupun pepohonan yang lebat hanya untuk tempat merebahkan tubuh ini. Melawan sengatan sinar matahari tak terhindarkan, ditambah dengan debu vulkanik dan batuan tajam berbalut kemiringan empat puluh sampai lima puluh derajat. Berkejaran dengan waktu dan sengatan sinar matahari yang semakin terik membuat tubuh ini semakin payah. Tangan mulai lunglai, kaki mulai lemas, dan badanpun mulai terhuyung-huyung. Belum lagi ditemani keringat yang dari tadi sudah mengalir deras melewati setiap lekuk tubuh ini.
Perjalanan turun seperti perjalanan panjang tak berujung, saat setiap belokan yang diharapkan cuma lahan landai tapi itu sepertinya hanya angan. Kram sudah mulai memanggil perlahan, tapi tak aku hiraukan demi sampai di pos pendakian. Langkah demi langkah, setiap hentakan yang aku lakukan semakin mendekatkan aku menuju tempat istirahat. Lama berjalan akhirnya sampailah kami di Warung Bu Indah tempat pos pendakian. Badan rasanya kayak digebukin orang sekampung. Capek memang, tapi diam di rumah akan jauh lebih membuat sakit dibandingkan capek yang kalian rasakan saat itu. Terimakasih untuk pelajaran penuh perjuangan kali ini. Gunung Penanggungan. Sampai jumpa di lain waktu dan kesempatan. Aku teringat dirimu persis seperti julukanmu. Kecil, terjang, dan cukup menantang.
|
Itu Gunung Penanggungan yang barusan didaki ada di belakang sana :) |
Wahh.. fotonya keren-keren euy..
ReplyDeletepada kuat2 ya naik gunung..
dan saya percaya Indonesia itu Indah pakai binggiittssss..
Bener banget mbak Endah, bersyukur sama Indonesia terutama alamnya :)
DeleteLas Vegas Casino - Dr.MCD
ReplyDeleteLas Vegas Casino, located on the corner of the 시흥 출장안마 Las Vegas Strip and the LINQ 밀양 출장안마 Promenade, is open daily 목포 출장안마 24 hours. The casino's 7,600 광명 출장샵 square foot gaming space features 나주 출장안마