Sehari sebelumnya....
Sore mulai datang saat tubuhku bersandar tegak sembilan puluh derajat di sebuah dudukan kursi yang membawaku keluar dari kota ini menuju kota seberang. Tak begitu lama memang, perjalanan di sebuah gerbong besi harus berhenti dan dilanjutkan dengan berpindah armada. Bukan perkara mudah bersaing mendapatkan bus di sebuah terminal yang dianggap paling ganas di Indonesia ini. Sikut-sikutan, lari dan saling kejar menjadi pemandangan tak terelakkan. Tiga kali lompat, tiga kali pula harus menerima kenyataan pahit bahwa tidak ada tempat untuk membawa kami menuju kota tujuan. Ya beginilah hidup di jalanan, keras. Persaingan tak memandang batas usia dan gender. Siapa cepat dia dapat. Tak adil memang, tapi ini kenyataan yang harus selalu kita hadapi.
Empat jam sudah tak terasa aku membunuh waktu disini, melawan kantuk dan dinginya udara malam yang semakin menjadi-jadi. Masih berdiam di tempat yang sama dan masih belum mendapatkan bus. Akhirnya jalan telah dipilih, nekat pergi ke garasi demi mendapatkan bus duluan. Ternyata aku lupa, ini masih tanggal muda dan juga pas weekend. Pantes aja daritadi banyak orang disini, dengan tujuan utama pulang ke kampung halaman dengan membawa angin segar di awal bulan.
Perlahan tapi pasti akhirnya bus yag ditunggu keluar dari garasi. Masih dengan kondisi kosong, yeahhh! Sesaat tubuhku sudah berada di bangku paling belakang bus yang akan membawaku ke kota yang terkenal dengan Stasiun Balapan-nya. Perjalanan panjang harus dilalui hingga akhirnya akupun membuka mata, melihat indahnya pagi di suatu tempat bertuliskan Terminal Tirtonadi, Solo. Mulai menggunakan bus ke Boyolali, menggunakan micro bus ke Pasar Cepogo, oper micro bus lagi ke Selo, dan akhirnya tibalah disebuah gerbang yang menjadi pintu masuk ke Gunung Merapi. Langkah kaki yang terseok-seok tetap tak menggoyahkan sampai basecamp Barameru tempat membeli tiket masuk dan segeralah kami melapor bahwa akan melakukan pendakian setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju basecamp New Selo.
Pemandangan yang akan kalian temui selama menuju basecamp Barameru |
Lihat tulisannya masih menggunakan aksara jawa |
Jalan kaki menanjak di tengah teriknya sinar matahari |
Dua orang teman akhirnya pergi meninggalkanku untuk mendaki duluan. Karena beberapa hal aku terpaksa menunggu hingga tak terasa 5 jam aku disini, masih di tempat yang sama. Akhirnya sebelum sang mentari beranjak turun, aku ikatkan backpack ke tubuhku dan aku memutuskan untuk mendaki. Ya mendaki seorang diri lebih tepatnya.
Jalan setapak menanjak dengan berbalut aspal tak terasa sudah aku lewati, hutan tembakau nan panjang juga sudah aku lalui hingga tiba di bibir sebuah tanjakan yang mungkin gak bakalan aku pernah bayangkan sebelumnya. Ya medan dengan kemiringan curam dan ketebalan abu vulkanik serta kiri kanan jurang menanti di depan mata. Tak ada pilihan mundur selain maju, meskipun jatuh bangun merangkak dan merayap harus dilahap. Langkah kaki setapak demi setapak, debu vulkanik beterbangan tak ubahnya menjadi pemandangan rutin. Batuk dan sesak nafas mulai menghampiri, tapi sleyer yang aku bawa menyelamatkanku di perjalanan panjang kali ini.
Tanaman tembakau menemani perjalanan di awal |
Shelter satu tak ubahnya menjadi awal dari tambahan rintangan perjalanan ini. Ya setelah jalan curam dan abu vulkanik sekarang rintangan bertambah dengan adanya batu-batu yang sangat tajam. Awal melewati shelter satu perjalanan masih terlihat menyenangkan dengan sesekali terlihat hamparan rumput hijau dan kicau burung yang menemani. Tapi lama berjalan pos satu tak kunjung terlihat. Aku menunduk lesu, mencoba berjalan sekuat tenaga saling berkejaran dengan sang mentari yang akan segera pulang.
Selamat datang di Taman Nasional Gunung Merapi, shelter satu |
Akhirnya sesaat sebelum sang mentari benar-benar kembali ke peraduannya, akupun telah sampai di pos satu. Beristirahat sejenak sambil bercengkerama dengan para pendaki lain dan menikmati Gunung Merbabu di ujung sana, sungguh menjadi pengisi sore yang indah yang terkadang hanya kita lewatkan begitu saja dengan kesibukan kita yang padat.
Perjalanan panjang masih menunggu di depan, akupun harus tegak berdiri menatap ke atas dan segera melangkahkan kaki ini. Perlahan tapi pasti, jalan semut di gunung dengan berbagai rintangan yang ada akhirnya membawaku sampai di pos dua. Kurang sedikit lagi batinku berkata. Tapi tak ada kata istirahat, malam hampir tiba dan bulan akan mulai menunjukkan jati dirinya. Akupun mempercepat langkah kaki ini, tapi sering kali pula batu dan kerikil kecil yang aku abaikan malah membuat aku jatuh dan bangun dengan susah payah.
Samar-samar di kejauhan terlihat lampu dari pendaki lain. Ini pasti sudah dekat dengan tempat camp pikirku. Aku istirahatkan tubuhku yang sudah mulai payah ini di sebuah gundukan batu besar. Tanpa terasa mataku tertuju kepada sebuah batu di sampingku yang sepintas terlihat banyak coretan. Ah mungkin cuma ulah iseng pendaki yang corat-coret di sebuah batu. Tapi setelah lama kuperhatikan ternyata bukan. Tak lain dan tak bukan batu itu adalah sejenis makam penanda bahwa pernah ada yang meninggal di sini. Diam di sini hanya seorang diri di tengah seluk beluk hutan ditambah hawa dingin malam dengan hanya berbekal senter nampaknya bukan menjadi kombinasi yang bagus. Setelah mengucapkan sedikit doa, akupun permisi untuk melanjutkan perjalanan.
Langkah kakiku pun menjadi pelan, tak terasa deretan tenda sudah berada di depanku. Berkumpul sejenak di depan tenda pendaki lain hanya dengan saling berbagi kopi sudah mampu menjalin kehangatan persahabatan di tengah dinginnya udara di sini. Salam ku tinggalkan, dan akupun bergegas mencari kedua orang temanku. Tak terasa sudah empat jam lebih dari sejak pertama mendaki dari New Selo aku berjalan, namun tak satupun aku lihat tenda kuning bertuliskan lafuma. Perasaan mulai gelisah bercampur dinginnya malam yang semakin larut. Bertanya sana sini ke pendaki lain sama sekali nihil. Akupun merasa putus asa.
"Lho cari siapa?" terdengar suara membuyarkan lamunanku.
"Lihat dua orang dari Malang membawa tenda lafuma kuning?" akupun menyahut.
"Oh tadi aku ketemu di balik Watu Gajah ini, belok kiri sedikit. Sepertinya mereka ke Pasar Bubrah." Orang itu menambahkan.
"Aku sudah sampai atas tadi, tapi deretan tenda apalagi lafuma kuning sama sekali tak terlihat." Aku menyahut lagi.
"Oke, mari kita jalan bersama. Aku juga sedang mencari temanku dari Jogja yang belum ketemu."
Singkat cerita akupun kembali menaiki Watu Gajah yang sempat aku lewati namun aku kembali turun karena nampaknya disana hanya sepi dan dingin yang menanti. Perlahan dengan sisa-sisa tenaga aku lewati batu-batu tajam dan berjalan hingga di balik Watu Gajah. Sedikit jauh mata ini memandang, terlihat samar-samar tenda lafuma kuning. Yeaaaahhh!! Gak jadi tidur beratapkan langit akhirnya.
Pertemuan dengan kedua temanku di Pasar Bubrah ini kami awali dengan masak dan membersihkan tenda untuk tidur. Udara malam ditambah angin gunung yang semakin bertiup kencang seakan membuat tubuh ini enggan lama-lama berada di luar tenda. Sesaat setelah masak dan makan bersama, segera kami bereskan dan bergegas menuju ke alam mimpi. Suasana malam hari di Pasar Bubrah benar-benar membuat bulu kuduk kalian akan terbangun. Pasar Bubrah atau Pasar Setan memang sering menjadi tempat camp para pendaki sebelum summit attack ke puncak Gunung Merapi. Tapi di pasar ini pulalah salah satu tempat yang paling angker. Banyak suara tanpa wujud seperti keramaian di pasar. Daripada ketemu yang aneh-aneh seperti Mak Lampir ataupun Mbah Maridjan, lebih baik buka sleeping bag, pasang kupluk dan berangkat menuju alam bawah sadar. Tidur di salah satu tempat paling angker di Indonesia.
Bunyi alarm panjang tak terasa membangunkan aku, dengan tubuh yang masih menggigil di tambah angin kencang membuat mata ini semakin lengket untuk beranjak dari mimpi panjang. Sial, badai di gunung sedang puncak-puncaknya. Beruntung kami bertiga di dalam tenda cukup kuat menahan tenda yang sudah mau terbang melayang ini. Kami cuma bisa diam dan menunggu hingga sekiranya badai di gunung ini berangsur menghilang. Perlahan kami buka tenda, angin kencang segera menyergap tubuh yang hanya berbalut kaos ini. Seperti ditempeli balok es. Dingin tak kami hiraukan, peralatan sudah siap kami masukkan semua ke daypack, berbekal seutas doa kepada-Nya dan let's go! Summit attack.
Seperti inilah jalan yang harus dilalui demi sampai ke puncak |
Rockk!! Awas batuu!! Sesekali sering terdengar kalimat seperti itu diucapkan. Ya memang wajar, batu kerikil tajam bercampur batu besar yang rapuh dibalut pasir vulkanik menjadi karpet merah yang sangat istimewa menuju Puncak New Garuda ataupun biasa disebut Puncak Limas. Kemiringan diatas lima puluh derajat menjadi tambahan tantangan di setiap hentakan kaki ini melangkah. Satu langkah ke depan beberapa kali diakhiri dengan satu langkah merosot ke bawah. Pegangan sama sekali nihil, cuma bergantung pada batu selanjutnya. Kiri kanan jurang mengangga dan lautan pasir sudah mengintai. Kurang fokus hingga salah pijakan sedikit saja mungkin akan memberikan cerita pilu.
Kemiringan lima puluh derajat dengan medan pasir dan batu |
Tapi aku tak mau menyerah, manusia diciptakan dengan akal dan budi untuk selalu berusaha lebih baik. Tak ada kata menyerah, karena ini sudah ditengah jalan. Butuh perjuangan keras meraih sebuah mimpi. Butuh semangat tak mengenal putus asa demi meraih cita-cita. Dan butuh keberanian yang tinggi untuk dapat melihat lukisan alam Sang Pencipta kali ini. Kaki rasanya sudah berat, tapi sering kali harus bersusah payah menahan beban tubuh ini di tengah jalan. Tangan sudah letih, mengusap setiap peluh dan keringat yang bercucuran membasahi wajah ini. Kepala sudah kaku mendongak ke atas, melihat jalan dan waspada terhadap batuan yang jatuh dari atas sambil sesekali mengintip Puncak New Garuda yang semakin dekat.
Itu aku yang paling belakang |
Semakin dekat dan semakin dekat |
Perjuangan panjang hingga tetes keringat bercucuran membuahkan hasil pagi itu. Ya di sinilah aku berdiri di ketinggian dua ribu sembilan ratus enam puluh delapan meter di atas permukaan laut. Memandang suatu lukisan alam yang sangat luar biasa yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Tak ada kata selain bersyukur dan tak ada sikap selain berhati-hati. Karena memang Puncak New Garuda ini sangat sempit, batuan di puncak sangat rapuh. Disepak sedikit saja sudah jatuh, jadi fokus tetap menjadi hal yang sangat penting. Diam sejenak di Puncak New Garuda menikmati sang mentari yang muncul ditemani dengan Gunung Merbabu yang selalu setia mendampingi menjadi suatu kombinasi yang Tuhan sudah sediakan. Sekali lagi, puncak itu bonus, perjalananlah yang mengajarkan kita banyak hal.
Puncak Limas atau yang bisa disebut juga Puncak New Garuda |
Pemandangan dari balik puncak |
Sekali injak bakalan rapuh dan jatuh |
Bayangkan kalian berdiri di ujung sana :) |
It is not the mountain we conquer but ourselves - Edmund P. Hillary |
Saat kita mempunyai asumsi bahwa sudah mampu menaklukkan gunung, maka dari situ kita seolah-olah mengasumsi bahwa gunung tak ubahnya seperti lawan. Padahal gunung itu indah yang mengajari dan memberikan kita sisi lain dari kehidupan rutinitas. Sekali lagi, bukan gunung yang kita taklukkan, tapi diri kita sendirilah yang mesti kita taklukkan. Ketika terbersit rasa sombong karena berhasil mencapai puncak, maka rasa itulah yang harus dikikis segera. Ketika ada rasa bangga saat melangkahkan kaki menyusuri hutan-hutan di gunung yang lebat dan ekstrim, maka rasa itulah yang mesti cepat-cepat dihilangkan. Ketika diri merasa paling kuat dan paling cepat dan tangguh saat mendaki gunung, maka itulah saatnya kita segera mengintrospeksi diri. Ketika kita merasa keren karena membawa backpack dan tenda yang besar dihadapan banyak orang, maka itulah yang harus segera ditekan. Ketika kita merasa bahwa pendaki-pendaki lain terlalu lemah dalam mendaki gunung, maka itu saatnya berhenti sejenak menenangkan diri dan berbicara pada diri sendiri untuk segera berhenti meremehkan pendaki lain. Ketika kita berpikiran bahwa kitalah yang paling paham tentang seluk-beluk gunung dan berbagai hal tentang kegiatan alam bebas, maka ajaklah diri untuk kembali berdiskusi. Ketika kita merasa yang paling jago mendaki gunung karena banyaknya gunung yang sudah didaki, maka itu pertanda bahwa masih ada sesuatu yang harus kita benahi.
Hilangkan segera semua perasaan itu. Hilangkan dalam setiap langkah kaki, dalam setiap tarikan nafas, sesering mungkin, dibawah hijaunya hutan, dibawah gerimis yang membasahi perjalanan, dibawah hamparan awan yang setia menaungi, di atas pasir yang tak henti berbisik. Rasa-rasa itulah yang harus segera ditaklukkan. Mengapa? Alasannya sederhana saja, saat kita mendaki gunung maka sebenarnya kita sedang terekspos dengan berbagai bahaya yang setiap saat dapat mengancam jiwa kita. Sematang apapun persiapan fisik dan pemahaman kita tentang teknik dan seluk beluk gunung, tetap Tuhan yang akan menentukan segalanya. Ada sekian pendaki hebat diluar sana yang akhirnya kembali pada Sang Pencipta saat mendaki gunung. Artinya jika sesuatu memang sudah ditakdirkan terjadi pada diri kita pada saat mendaki gunung, maka jangan biarkan sesuatu itu terjadi saat kita berada dalam perasaan paling hebat, paling kuat dan paling tahu dalam berbagai hal tentang mendaki gunung.
Saat ada teman sendirian dibelakang yang sedang mengalami kesulitan, maka saat itulah kita akan dihadapkan pada dua pilihan. Akankah kita terus melaju menuju pos yang masih jauh didepan atau puncak yang sudah hampir di depan mata atau justru membiarkan teman tersebut dalam kesusahan? Saat diri mulai merasa lelah dan putus asa ketika tersesat, maka rasa putus asa itulah yang harus ditaklukkan.Mendaki gunung mengajarkan banyak hal tentang sikap, ego, kebersamaan, kelemahan kita, semangat, keyakinan dan banyak hal lainnya. Jika kita memahami lebih jauh lagi bahwa kesukaan dan ketagihan kita untuk mendaki gunung sebenarnya karena ada semacam kedekatan dan keterikatan antara manusia dengan Sang Pencipta melalui media yang bernama alam. Kita suka dan bahagia melihat pemandangan alam di gunung karena lewat alam ditanamkan ketentraman dan kesejukan kedalam hati kita. Lewat alam kita diajarkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil dan segala permasalahan keseharian yang kita hadapi adalah hal yang kecil. Kita seolah-olah diajarkan bahwa ada hal-hal yang jauh lebih menarik “diluar sana”, yang mungkin luput dari perhatian kita karena kesibukan sehari-hari. Semoga dengan ini kalian lebih terinspirasi, membuka mata akan indahnya dan perlunya sikap menyatu dengan alam untuk sejenak bersyukur kepada Sang Pencipta. Sampai jumpa.
Bagus ceritanya, foto yang pertama bikin ngeri. Kapan ya bisa kesana? Hmmm
ReplyDeleteAngkat backpack dan berangkat, terimakasih sudah berkunjung :)
DeleteKeren ceritanya!
ReplyDeleteTerimakasih :)
Deletewah pasti seru nih petualangannya, kayaknya saya sebagai backpacker amatir harus banyak belajar dari Albert nih ;), salam hangat dari blogger bandung
ReplyDeleteSama-sama masih harus banyak belajar kok hehehe
DeleteTerimakasih sudah main ke sini ya, salam balik dari Malang :)
Seru banget mas, tapi aku kok agak ngeri2 sedap ya kalo mau ke Merapi ;)
ReplyDeleteNgeri sedapnya bukan karena bau masakan di gunung kan? Hahahaha
DeleteKeren bro cerita2 diblognya..,
ReplyDeleteAda masukan sedikit nih bro untuk kata2 "pohon bakau" mungkin bisa diperjelas penulisannya menjadi "pohon tembakau".
Karena sewaktu saya membaca awal2 sempat bingung mendaki gunung koq bertemu "pohon bakau" yang vegetasinya didataran rendah seperti pantai.
Thanks bro keep writing..,
Oke terimakasih sarannya :)
Delete