http://www.penulishidupku.com/?p=5036 |
Sudah baca cerita sebelumnya? Kalau belum mending dibaca dulu ke sini biar tahu jalan ceritanya Part 1
Sesaat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi tubuh ini masih terpaku di bibir pantai. Hanya sisa-sisa tenaga dan semangat yang akhirnya membawa tubuh ini keluar dari pantai. Menuruni jalan setapak terjal, berkelok-kelok, melewati rawa kecil, melintas batuan dan kerikil tajam hanya demi berkejaran dengan Sang Mentari yang sepertinya sudah enggan menampakkan jati dirinya.
Jalanan sepanjang keluar hutan, menjadi sangat menyeramkan malam itu. Padam, gelap mencekam tanpa adanya penerangan. Hanya sorot lampu kendaraan yang saling berpendar satu sama lain. Menembus batas kabut demi membuka jalan di depan. Melintas bukit demi membawa tubuh ini menuju ke perkampungan seberang.
Tak terasa sudah beberapa jam lamanya berpacu dengan waktu dengan keadaan yang masih tetap sama. Belum lagi di tambah hawa dingin malam yang semakin merambat masuk ke dalam tubuh basah ini, akibat bermain air di pantai tadi. Menjadikan kombinasi sempurna untuk segera masuk angin, kebelet pipis, kelaparan, dan berbagai penyakit aneh khas Indonesia lainnya.
Saling berkejaran dengan kendaraan lain sudah menjadi pemandangan lumrah, saling mendahului dengan kecepatan beberapa kilometer per jam di belokan sempit menjadi tak terelakkan, lampu sein kanan menyala berulang-ulang kali berpacu menemani kecepatan ini. Setelah sekian lama bermain dengan kecepatan, perlahan terlihat sama-samar dari kejauhan banyak kendaraan yang mulai melambat, bahkan ada yang diam tak bergerak. Ada apa ini?
Oh rupanya, ada carnaval sepanjang dua kilometer lebih. Kirain ada artis lewat atau ada makan gratis. Ya sudahlah, daripada terjebak dalam lautan luka dalam, eh maksudnya lautan manusia, langsung saja bergegas putar balik dan mencari jalur alternatif, daripada keburu ngantuk dan capek di jalan.
Jalur alternatif ternyata sama saja macetnya, kayak mau nonton konser. Jalanan sempit, menjadikan semua berlomba-lomba berdesakan, saling mendahului bahkan hingga ke rumput-rumput dan trotoar ruas jalan juga diserbu. Debu-debu kotor saling menari beterbangan di udara seakan bebas menerpa setiap pengendara yang melintaskan roda kendaraannya. Baru jalan beberapa menit, ada perbaikan jalan yang baru saja diaspal, perlahan aku gas motor ini menuruni kemiringan hampir empat puluh derajat, hingga naik lagi dengan kemiringan yang sama. Sudah hampir naik di jalan landai, tapi truk di depanku membuyarkan semuanya itu.
GUBRAAAKKK!! SROOOTTT!!
Waktu berjalan sangat cepat, seketika pandanganku menjadi kabur, hampir aku tak sadarkan diri....
Aku terpleset dan jatuh gara-gara ngerem di jalanan aspal yang baru saja jadi. Truk di depanku gak kuat menaiki tanjakan, dan tiba-tiba mundur, sontak aku yang sedang melaju langsung saja ngerem mendadak dan tak bisa menghindari tubuh ini bersinggungan dengan aspal yang masih panas-panasnya.
Waktu berjalan sangat cepat, seketika pandanganku menjadi kabur, hampir aku tak sadarkan diri....
Aku terpleset dan jatuh gara-gara ngerem di jalanan aspal yang baru saja jadi. Truk di depanku gak kuat menaiki tanjakan, dan tiba-tiba mundur, sontak aku yang sedang melaju langsung saja ngerem mendadak dan tak bisa menghindari tubuh ini bersinggungan dengan aspal yang masih panas-panasnya.
Banyak warga yang datang menggotongku ke pinggir jalan, memapahku untuk berdiri tegak. Kulihat di kejauhan sepeda motor dan temanku nampaknya tak mengalami luka berarti. Syukurlah. Badan rasanya sudah ambruk, kaki daritadi mengeluarkan banyak darah, menetes membasahi lutut hingga mata kaki. Kaki rasanya mati rasa. Belum lagi ditambah, jempol kaki yang sobek dan tangan kanan yang keseleo dan luka memar lainnya di sekujur jari tangan dan pergelangan leher.
WARNING!!
Kalau gak kuat lihat gambar di bawah ini, jangan dilihat langsung di skip aja...
WARNING!!
Kalau gak kuat lihat gambar di bawah ini, jangan dilihat langsung di skip aja...
Naas tak dapat dihindari. Luka selebar telapak tangan menganga tepat di lututku sebelah kiri. Karena kesalahanku juga hanya pakai celana pendek, padahal biasanya selalu pakai celana panjang. Selebihnya sarung tangan, helm, dan jaket masih senantiasa menjadi tameng tebal pertemuan kulitku dengan aspal. Sehingga luka yang aku alami mungkin gak seberapa, hanya lecet-lecet dan berdarah sedikit.
"Di minum dulu biar gak gemetar, nak." Terdengar suara ibu yang rumahnya tepat di depan aku jatuh.
"Terimakasih bu". Sahutku.
"Hati-hati toh makanya, aspal disini masih baru memang, belum ada tiga hari. Tadi ada dua kecelakaan juga, yang satu sepanjang tangan sampai lengan luka parah, yang satunya lagi kena bagian muka." Lanjut ibu itu menjelaskan.
"Bapak kasih balsem ya lukanya, nak". Seorang laki-laki yang mungkin suami dari ibu itu keluar dari dalam rumah sambil membawa balsem.
"Jangan pak, please jangan, aku gak mau!" Jeritku saat itu.
Kalian bayangin aja, gimana rasanya luka yang masih anget-angetnya, masih merah-merahnya, masih putih-putihnya, dan masih-masih yang lainnya mau diolesi balsem. Bayangin deh, bayangin coba, .... au ah ngilu ngomongnya!
Jeritan dan erangan seketika itu juga keluar dari tubuh ini saat balsem mulai menempel di luka. Ingin tau rasanya? Coba deh.
Tapi aneh. Seketika itu, panas akibat luka langsung dingin. Mungkin semacam obat penawar sementara, kalau kata warga. Warga di sana terbiasa mengobati luka jatuh menggunakan balsem. Maklum di desa, obat-obatan masih sangat jarang yang canggih dan modern seperti di kota. Perlengkapan kesehatan saja mereka hanya seadanya yang bisa digunakan untuk penawar luka. Perlahan aku mencoba bangkit berdiri, memotivasi diri ini untuk segera beranjak dan melanjutkan perjalanan pulang. Aku harus kuat. Tak aku hiraukan sakit, meskipun cairan merah segar masih saja senantiasa turun membasahi menuju ke mata kaki.
Setelah sedikit salam dan terimakasih aku tinggalkan, aku pasang semua peralatan dan aku siap berkejaran dengan angin lagi. Dalam perjalanan pulang dengan kondisi baju basah, badan capek, kaki berdarah, tangan keseleo, dan pandangan sudah mulai kabur, aku panjatkan seutas doa lagi "Tuhan, lindungi aku sampai tempat tujuan dengan selamat".
Sekali lagi aku terdiam dan merenung, mungkin ini sedikit peringatan tapi aku bersyukur "Tuhan masih menyelamatkan aku".
Beuh, parah banget bro lukanya. Harus lebih ekstra hati-hati lagi. Saya tau gimana rasa sakitnya pas jatuh maupun kecelakaan, soalnya sudah pernah mengalami. Mau kita di pihak benar atau pun salah dalam sebuah kecelakaan, tetap saja rasa sakitnya sama.
ReplyDeleteSakitnya tuh disini...
DeleteHahaha iya terimakasih saran dan masukannya, kadang cerita di alam gak selalu menyenangkan, diambil sisi positifnya aja :)