Ibarat Perjalanan Menuju Puncak Panderman


Jujur, perjalanan mendaki gunung apalagi Gunung Panderman mungkin sudah sering aku lakukan, bahkan dari kalianpun juga demikian. "Lantas apa yang menarik dari kisah perjalanan kali ini?" Ingat kawan, selalu ada cerita di setiap perjalanan bahkan kalaupun kamu harus menempuh perjalanan menuju tempat yang sama. Banyak cerita dan juga kisah yang tertulis di setiap waktu saat kaki ini melangkah, menyusuri jalanan setapak. Mengumpulkan berbagai cerita indah di luar sana dan berusaha membaginya ke kalian, karena kebahagiaan yang paling membahagiakan adalah tak lain dengan berbagi.

Sore itu, langit sedang sendu. Lembayung awan hitam di ufuk sana seakan enggan melepas kepergian kami hari itu untuk mendaki. Dari janji berangkat pukul satu, ternyata harus molor karena harus menunggu teman-teman yang lain, walaupun sebenarnya kami masing-masing pribadi sudah berusaha on time. Berbekal tekad dan sebait doa yang tak lupa kami panjatkan, bergeraklah roda ini menyusuri jalanan yang sedari tadi sudah mulai basah terhempas hujan. Jujur, menerjang hujan dengan kondisi membawa barang serta peralatan mendaki, ditambah dengan dingin yang menusuk tulang bukan perkara yang mudah.



Derap langkah mulai kami ayunkan dari pos perijinan pendakian, memasuki jalanan berpaving. Awal yang berat nampaknya bagi para empat wanita di sini karena memang mereka belum pernah melakukan pendakian. Berulang kali dua orang laki-laki yang memang punya kebiasaan mendaki semenjak beberapa tahun lalu ini harus berhenti pula. Bukan untuk mengeluh, namun menyeimbangkan waktu kepada mereka. Karena apapun yang terjadi kebersamaan jauh lebih penting daripada ego yang harus dipaksakan. Perlahan namun pasti, kamipun meninggalkan tanah berpaving dan kini mulai memasuki tanah berpasir.

Hari mulai beranjak gelap. Cahaya perlahan muncul dari benda-benda yang kami bawa berusaha memberikan petunjuk dimana langkah kaki ini seharusnya harus berpijak menyusuri petak jalan. Dingin menyelimuti, ditambah kondisi udara yang semakin menipis membuat kami butuh nafas buatan. Nampaknya mereka para wanita ini sangat kelelahan. Tapi semangat terus berjuang dari mereka yang membuat salut. Aku menatap seorang wanita di sampingku, sementara jemari si wanita itu menggenggam tanganku, mengajak untuk segera melanjutkan perjalanan ini menuju pos satu, Latar Ombo.


Aku mengenal dia pertama kali sekitar pertengahan akhir tahun dua ribu sebelas saat masih menjadi maba atau singkatan dari mahasiswa baru bukan mahasiswa basi. "Tik, tika bantuin bungkusin kado ini dong". Terdengar suara membuyarkan suasana hening saat itu. "Oh namanya Tika". Aku mengangguk dari jauh. Cuma sekedar mengenal namanya karena memang waktu itu kebanyakan temannya juga teman mainku dan cuma dia seorang yang belum aku kenal pada saat itu. Tak ada perkenalan diantara kami, mungkin aku hanya tahu dia dan dia tidak pernah tahu aku. Sebuah pertemuan singkat yang tidak menimbulkan kesan, apalagi saat itu aku sudah memiliki gebetan lain.

Dari pos perijinan pendakian, diteruskan tanah berpaving, tanah berpasir, dan kali ini masih harus dilanjutkan tanah lembab yang sudah mulai basah dibalut embun dingin. Perjalanan kamipun akhirnya sampai di pos satu, Latar Ombo. Suasana saat itu sepi, masih banyak spot buat bermesraan atau juga melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat semisal membangun tenda. Setelah saling membuang undi untuk menentukan posisi akhirnya kamipun bergegas membangun tenda. Sekali lagi semangat dari mereka para wanita yang membuat salut. Tak harus takut mengotori tangan, namun niat tulus mereka membantu agar tenda cepat terbangun membuahkan hasil. Dua tenda berdiri, kini saatnya kami menyiapkan makanan dan lanjut makan malam. Eh, pernah dengar mitos makanan apapun bakal terasa enak saat kalian di gunung. Gak percaya? Cobain deh!


Pangling, adalah sebuah tanggapan yang lumrah ketika kita menemui sesuatu yang sudah lama tidak kita temui. Bulan Mei dua ribu lima belas. Aku masih ingat dengan jelas saat aku duduk di sebuah ruangan untuk mengikuti tes wajib kelulusan Internet and Computing Core Certification. IC3 adalah alat uji untuk menunjukan keahlian komputer dan internet yang berguna di dunia akademis dan kerja nantinya. Tiba-tiba saja terdengar suara dari pengawas ruangan yang membuyarkan konsentrasi, padahal sedikit lagi hampir keluar. Keluar ide jawaban untuk mengerjakan soal di depan mata maksudnya. "Silahkan menempati tempat yang telah disediakan", sembari memanggil dan menyebut nama peserta ujian satu persatu. Ya benar sekali, namanya termasuk yang disebutkan oleh pengawas ruangan. Entah sebuah kebetulan atau tidak.

Empat tahun lamanya hanya mengenal, mengagumi, dan berinteraksi lewat sebuah like instagram dan emoticons path ataupun lini masa timeline berbagai social media yang kami punya. Tak ada comment tak ada kata yang tertulis ataupun sekedar menyapa salam. Cuma terbersit sedikit rasa bingung setiap kali melihat apa yang dia share, seakan mata ini berhenti di satu titik. "Ah, cuma kagum biasa aja kok." Sayangnya aku juga barusan putus (lagi). Lagian enak jomblo, bebas mau jungkir balik. Skripshit juga masih meronta-ronta minta diraba buat dikerjakan. Kegiatan dan perkataan itupun hampir selalu aku ucapkan. Kini aku punya profesi tambahan selain jadi penunggu ruang dosen pembimbing, ya seorang secret admirer. Kalau kata Sheila on 7 "Ku tak pernah berharap kau kan merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini~" Seketika langsung nangis sambil cakar-cakar tembok di pojokan ruang dosen pembimbing.


Malam sudah semakin larut. Saatnya mengistirahatkan badan sembari menunggu pagi sebelum kami bergerak lagi menuju puncak. Entah baru pertama kali mendaki gunung sehingga kelelahan atau karena kenyang akibat makanan yang baru saja disantap, empat wanita tangguh ini langsung masuk tenda mereka dan terlelap. Sedangkan kami berdua yang pria masih sibuk minum kopi di luar sembari bercengkerama menikmati obrolan malam kala itu. Cahaya lampu kota atau yang biasa kita sebut citylights malam itu dari Latar Ombo sungguh sangat romantis. "Ah sayang cuma berdua bersama pria gembul ini, tapi tak apalah". Teman sejati kadang bisa membuat kamu dikira homo. Nampaknya malam masih panjang dan enggan memunculkan rembulannya yang cantik, lebih baik kami kembali ke tenda dan tidur.

Putus cinta dan patah hati, bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah awal untuk menemukan cinta yang baru. Aku masih ingat di masa perkuliahan, ketika untuk kesekian kalinya mengakhiri hubungan dengan lawan jenis dan menjomblo hampir selama dua tahun setelahnya. Proses pertemuan kami saat tes IC3 berakhir menyedihkan karena aku yang sudah berusaha menunggunya di pintu keluar untuk sekedar menyapa harus mengurungkan niat dan kembali ke kampus terlebih dahulu. "Mau ngomong apa? Kenal aja gak, cuma tahu lewat social media. Apa iya dia masih ingat? Ah buat apa juga, mending balik". Dan kemudian akupun menyesal karena moment itu terlewatkan, belum tentu kapan bisa bertemu lagi. Pesan bagi kalian: Tentukan pilihanmu, dan berusahalah berjuang untuk itu saat ada waktu atau kalian menyesal tidak akan pernah bisa memperjuangkannya lagi. Dalam hal apapun.


Tak terasa malam panjang berlalu, kami terbangun dan bersiap mendaki menuju puncak. Persiapan sudah selesai, perlahan kaki ini menyusuri jalanan gelap sepanjang lereng gunung. Berulang kalipun kami menyibak ranting pohon, berusaha membuka jalan. Jalanan basah sehabis hujanpun membuat kami harus lebih berhati-hati karena licin. Salah berpijak sedikit bisa tergelincir. Tak perlu waktu lama untuk sampai di Pos Dua, Watu Gede. Tak ada yang menarik di sini, hanya lahan sedikit luas dengan bongkahan batu besar sesuai namanya. Hanya beberapa rombongan pendaki yang mendirikan tenda di daerah sini. Kamipun melanjutkan perjalanan sembari meninggalkan salam untuk mereka.

Agustus dua ribu lima belas. Kaget saat tiba-tiba aku melihat foto di salah satu akun social medianya yang menandakan dia barusan lulus sehabis menempuh ujian skripsinya. Entah mengapa terbersit rasa khawatir tidak akan pernah bertemu lagi seperti kejadian sebelumnya. Pilihanku cuma dua, sekarang atau tidak sama sekali. Aku coba memberanikan diri untuk mencari namanya dan meng-addnya sebagai teman. Ketemu! Tapi tetap tangan ini tak mampu menuliskan kata walaupun sekedar menyapa. Mundur bukan pilihan, akhirnya berusaha mengirim pesan walaupun setelah itu berakibat grogi, perut mulas, gulung-gulung. Awalnya sangat susah, bahkan beberapa kali respon yang dia berikan tak sesuai harapan. Namun Dewa 19 pernah mebuat lirik "Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku~. Dari situ, perlahan hubungan kami semakin jelas dan erat setelah ada kesamaan visi misi untuk bersama memajukan Indonesia.

Setelah pos dua, ternyata jalanan berubah menjadi jalanan setapak menanjak yang lebih licin dan sempit. Bahkan ada pohon tumbang yang menutupi jalan sehingga kami harus melewatinya dengan cara menunduk, melompati, atau dengan gerakan akrobatik. Sesudah itu, perjalanan dilanjutkan dengan jalanan landai. Sesekali, aku menggandeng tangan Tika yang berjalan di belakang, seraya berpesan untuk lebih berhati-hati. Tak terasa semburat warna merah keemasan mulai menampakkan jati dirinya di ufuk timur. Pertanda pagi mulai datang, dan malam mulai pergi. Ya di sini, di ketinggian dua ribu empat puluh delapan meter di atas permukaan laut kami berdiri. Menikmati sebuah karunia Sang Pencipta yang sungguh indah pagi itu. Membuat kita harus senantiasa bersyukur, karena alam sudah senantiasa menyiapkan lukisan yang menakjubkan.
 

Bagiku, setiap kisah hidup adalah sebuah perjalanan. Terkadang harus menemui jalan landai, terjal, bebatuan, rerumputan. Menyusuri waktu menembus batas suka duka, pencapaian, kerja keras, support, bahkan moment. Penuh rintangan seperti pendakian, bukan berarti tidak bisa terlewati. Usia hanyalah untaian angka, bukan menjadi simbol kedewasaan seseorang. Kepribadian dan sikaplah yang menentukan. Mungkin hari ini sama dengan hari pendakian itu. Hari ini cuma penanda, bahwa ada masanya seseorang dikatakan bertambah dewasa, karena sudah melalui banyak rintangan. Teorinya sih demikian.


Terimakasih sekali Panderman, sudah memberikan awal yang manis perjalanan. Dimulai dari sini, kami yang memang punya kesenangan terhadap dunia traveling bisa senantiasa jalan-jalan keliling kota, provinsi, pulau, bahkan negara dan bisa membagikan cerita itu semua kepada kalian. Kini saatnya kembali pulang, karena sekali lagi pencapain bukan perkara kamu bisa sampai tujuan tetapi ketika kamu bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga dengan keadaan selamat.

Special thanks to: Gembul, Tika, Cita, Hasti (Cebong) and Siska. I'm proud of you guys

6 komentar:

  1. Mantap, the best quotes is "bersama memajukan indonesia".Hmmmm leh uga

    ReplyDelete
  2. nice blog bro! keep writing :)

    Adis takdos
    travel comedy blogger
    http://www.whateverbackpacker.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di comment salah satu travel blogger favorit!
      Thanks dis sudah mampir dan motivasinya :)

      Delete
  3. Mantap gan artikelnya, jangan lupa kunjungi balik goodbackpacker.blogspot.com

    ReplyDelete

Sebelum pergi jangan lupa tinggalkan komentar, kritik, saran, dan share juga ke temen kalian ya. Apresiasi sekecil apapun bisa jadi punya pengaruh yang sangat besar bagi pembaca lain dan juga blog ini ke depannya. Terimakasih sudah mampir dan membaca :))

 

Loyal Followers

Backpacker Indonesia

KBMR